Minggu, 27 Maret 2011

DEFINISI MANDI WAJIB

Mandi wajib sama halnya dengan mandi junub (mandi habis hubungan suami istri), yaitu mandi yang perlu dilakukan oleh seorang muslim untuk membersihkan dirinya dari hadas besar dengan melakukan rukun-rukunnya salah satunya adalah mandi membasahi seluruh anggota badan. Mandi wajib ini berlaku untuk perempuan dan laki-laki loh. ^^

HUKUM MANDI WAJIB

Hukum mandi wajib ini adalah wajib (namanya kan wajib, hehe). Tapi tentu ada sebabnya kenapa seorang muslim dikatakan wajib untuk mandi wajib.

SEBAB SEORANG MUSLIM DIWAJIBKAN MANDI WAJIB

Sebab-sebabnya terdiri dari tujuh sebab. Empat sebab melibatkan laki-laki dan perempuan dan tiga sebab lainnya hanya melibatkan perempuan:

Sebab Bagi Perempuan:

- Melahirkan anak

- Nifas yaitu darah yang keluar ketika melahirkan anak

- Keluar darah haid -> perempuan datang bulan. “Jika datang haid, maka tinggalkan solat. Dan jika telah lewat, maka mandi dan Solatlah” (HR. Al Bukhari)

Sebab Bagi Laki-laki dan Perempuan:

- Melakukan hubungan suami istri (jimak) apabila zakar (kemaluan laki-laki) dimasukkan ke dalam faraj (kemaluan perempuan) walaupun tidak keluar air mani.-> berhubungan badan walaupun tanpa disertai keluarnya mani.

- Jika keluar air mani walaupun zakar tidak dimasukkan ke dalam faraj. -> keluarnya mani yang disertai syahwat, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga.

- Keluar air mani kerana bermimpi (wet dream).

- Mati (dimandikan).

- Masuk Islam bagi orang yang sebelumnya kafir. Dari Qais bin Ashim, ia menceritakan bahawa ketika ia masuk Islam, Nabi saw menyuruhnya mandi dengan air dan bidara (HR. At Tirmidzi dan Abu Dawud)

RUKUN MANDI WAJIB

Rukun mandi ada tiga:

- Niat. Niat ini hanya diucapkan di dalam hati dan tidak perlu diucapkan secara lisan.

- Menghilangkan kotoran dan najis pada badan. Bila ada najis pada tubuh, membasuhnya bisa berbarengan dengan mandi wajib. Artinya membersihkan najis boleh disatukan dengan mandi wajib.

- Meratakan air ke seluruh anggota badan yang zahir (terlihat) termasuk semua lipatan badan. (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah). Meliputi kulit, rambut dan bulu yang ada di badan, sama bulu-bulu yang jarang ataupun lebat.

NIAT MANDI WAJIB ->sumber : Wiki

Niat mandi wajib secara ringkasnya adalah “Sengaja aku mandi wajib kerana Allah Taala.” Lafaz niat yang lain “Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari janabati fardlal lillaahi ta’aalaa” (Artinya: Sengaja aku mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar dan mandi wajib kerana Allah Taala). Niat yang penting kita meniatkan karena Allah, tidak mesti diucapkan dalam bahasa Arab kalau kita belum bisa. ;)

Untuk perempuan yang mandi wajib kerana hadas haid niat mandi wajibnya adalah “Sengaja aku membersihkan hadas haidkerana Allah Taala.” Sedangkan untuk yang habis nifas, niat mandi wajibnya ialah “Sengaja aku membersihkan hadas nifas kerana Allah Taala”.

Niat mandi wajib hendaklah diucapkan apabila mulai mengenakan air ke bagian anggota mandi. Bila niat dilafalkan setelah seseorang telah membasuh anggota badannya, mandi wajibnya tidak sah dan dia mesti mengulang kembali niatnya ketika memulai membasuhkan air ke seluruh anggota badannya. Begitupun jika seseorang berniat sebelum air sampai ke badan, niat itu juga tidak sah dan dia harus mengulang kembali niatnya sambil membasuhkan air ke seluruh anggota badannya.

Orang yang tidak berniat mandi wajib tidak memenuhi rukun mandi wajib dan dengan itu tidak boleh dikatakan telah melakukan mandi wajib. Dia hanya sekadar mengerjakan mandi biasa dan masih terikat dengan larangan yang dikenakan untuk orang yang berhadas besar.

AIR YANG DIGUNAKAN UNTUK MANDI WAJIB

Mandi wajib dikerjakan menggunakan menggunakan air mutlak yaitu air yang suci lagi menyucikan, dan tidak sah jika menggunakan air yang bukannya air mutlak.

CARA MANDI WAJIB

Cara mandi wajib paling afdhal tentunya mengikuti sunnah Baginda Rasulullah SAW. Berdasarkan hadis dari Aisyah ra.,

“Dahulu, jika Rasulullah SAW hendak mandi janabah (junub), beliau membasuh kedua tangannya. Kemudian menuangkan air dari tangan kanan ke tangan kirinya lalu membasuh kemaluannya. Lantas berwuduk sebagaimana berwuduk untuk solat. Lalu beliau mengambil air dan memasukkan jari-jemarinya ke pangkal rambut. Hingga beliau menganggap telah cukup, beliau tuangkan ke atas kepalanya sebanyak 3 kali tuangan. Setelah itu beliau guyur seluruh badannya. Kemudian beliau basuh kedua kakinya.”(HR. Al Bukhari dan Muslim)

Cara mandi wajib yang paling baik adalah mengikuti cara yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmizi.

1. Membaca bismillah sambil berniat untuk membersihkan hadas besar .

2. Membasuh tangan sebanyak 3 kali.

3. Membasuh alat kelamin dari kotoran dan najis.

4. Mengambil wuduk sebagaimana biasa kecuali kaki. Kaki dibasuh setelah mandi nanti.

5. Membasuh keseluruhan rambut di kepala.

6. Membasuh kepala berserta dengan telinga sebanyak 3 kali dengan 3 kali menimba air.

7. Meratakan air ke seluruh tubuh di sebelah lambung kanan dari atas sampai ke bawah.

8. Meratakan air ke seluruh tubuh di sebelah lambung kiri dari atas sampai ke bawah.

9. Menggosok bagian-bagian yang sulit seperti pusat, ketiak, lutut dan lain-lain supaya terkena air.

10. Membasuh kaki.

HAL-HAL BERKAITAN

Yang Mandi Menggunakan Shower

Jika seseorang mandi dengan menggunakan “shower”, tidak perlu tiga kali, memadai untuk kita yakin air telah rata ke seluruh tubuh dari kepala ke ujung jari.

Rambut dan Kuku

Jika rambut seseorang itu dikuncir atau disanggul (laki-laki atau perempuan), sekiranya tidak sampai air ke dalamnya, kuncir atau sanggul itu wajiblah dibuka. Bulu-bulu dalam lubang hidung tidak wajib dibasuh kerana dianggap batin (tidak tampak/zahir). Tapi kalau bulu-bulu di dalam hidung itu bernajis, juga wajib dibasuh.

Tentang rambut yg diwarnai dengan selain inai, inilah yang membingungkan. Sebenarnya jika rambut seorang muslim diwarnai dengan selain inai, mandi wajibnya itu tidak sah. Oleh karena itu, dia yang mewarnai rambutnya dengan selain inai, bila dia ingin mandi wajib, dia harus membuang pewarna di rambutnya dulu. Tetapi untuk membuang pewarna itu sendiri gimana, ya??.. Inilah susahnya. Padahal pewarna rambut itu sebenarnya tidak segampang itu untuk dibuang.

Yang menyebabkan mandi wajib orang yang menggunakan pewarna pada rambutnya tidak sah kerana pewarna itu akan membalut rambutnya dan menghalangi air sampai ke rambut. Ini berbeda dengan inai. Inai hanya akan meresap ke rambut, tetapi pewarna justru akan membalut rambut dan menyebabkan air terhalang ke rambut.

Di samping itu juga, mewarnai rambut dengan warna asli rambut itu tidak dibolehkan dalam Islam. Misalnya kalau aslinya rambut hijau, tidak boleh diwarnai hijau. Hehe.

Mengenai kuku, jika di dalam kuku ada kotoran yg bisa menghalangi air sampai ke badan khususnya di bagian bawah kuku, kotoran itu wajib dibuang dulu. Membuang kotoran di dalam kuku itu boleh dilakukan ketika sedang mandi. Begitu juga dengan kuku yang diwarnai dengan kutek (yang mengkilat di kuku kalau dipakai) wajib dibersihkan dulu, karena bila tidak akan ada bagian tubuh yang tidak terkena air. Kecuali kalau pewarna yang dipakai adalah inai.

Keperluan Mengambil Wudhu

Seseorang yang telah mengerjakan mandi wajib tidak perlu mengambil wudhu lagi untuk mengerjakan solat dengan syarat tidak melakukan perkara yang membatalkan wudhu setelah dia mengerjakan mandi wajib. Jika terbatal, cukup perlu mengambil wudhu lagi saja (tidak mandi lagi).

Sunat-Sunat Mandi Wajib

- Seorang muslim sunah mengenakan kain hingga ke lutut seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. bahasa sehari-harinya kita kenal dengan “basahan”.

- Pada masa mandi kita disunatkan menghadap kiblat, membaca bismillah, membasuh tangan, mengambil wuduk, mengosok-gosok seluruh badan, tertib dan muwalat, yaitu berturut tanpa putus.

- Bagi perempuan yang mandi disebabkan haid dan nifas, disunatkan menggunakan parfum sehabis mandi.

Untuk Suami Istri

Bagi pasangan suami istri yang berhubungan, tidak harus bagi mereka segera mandi begitu habis berhubungan, tetapi diwajibkan mandi ketika ingin beribadah.

Bila Menunda Mandi Wajib

Mandi wajib boleh ditunda dari malam sampai pagi. Makanya pasangan yang berhubungan boleh menunda mandi wajib sampai pagi dan melakukan mandi wajib beberapa saat sebelum mengerjakan solat shubuh, tetapi mereka disunatkan berwudhu sebelum tidur jika ingin menunda mandi wajib sampai pagi. Sebagaimana sunahnya berwudhu sebelum tidur.

Seorang muslim boleh melewatkan mandi wajib sebelum solat. Setelah masuk waktu solat, ia wajib mandi sebelum menunaikan solat.

Bila Ragu-ragu

Jika seorang yang mengerjakan solat tetapi ragu-ragu apakah sama ada ia sudah mandi wajib atau belum, maka seluruh solat yang telah dikerjakannya (selama itu) adalah sah, dan untuk solat-solat berikutnya ia harus mandi wajib dulu.

Dan Jika Tiada Air (Atau Mudarat Tidak Boleh Terkena Air)

Jika terdapat sebab untuk melakukan tayammum, seperti ketiadaan air, atau tidak dapat menggunakannya akibat sakit, maka tayammum akan menggantikan wudhu dan mandi wajib. Maka seseorang yang junub (salah satunya habis berhubungan suami istri) hendaklah bertayammum lalu solat, kemudian apabila ada air, maka dia harus mandi untuk menghilangkan janabahnya.

“Rasulullah saw melihat seorang lelaki yang menjauhkan diri dan tidak solat dengan kaumnya, maka baginda berkata : Ya Fulan, apa yang menghalangi kamu dari tidak solat dengan kaummu? Dia menjawab : Ya Rasulullah, saya dalam keadaan junub, dan tiada air. Baginda berkata : Kamu hendaklah menggunakan tanah yang bersih, kerana ia mencukupi untukmu”. (Hadis riwayat al-Bukhari).

Bila datang Haid Sehabis Berhubungan Suami Istri

Wanita yang berjunub disebabkan hubungan dengan suaminya, kemudian datang haid sebelum mandi junub, apakah wajib mandi junub dulu ataupun boleh menunda mandi hingga habis haid?

Terdapat dua pendapat mengenai hal ini:

1. Wajib mandi junub terlebih dahulu, kemudian sehabis haid mandi wajib lagi.

2. Tidak wajib mandi junub dulu (menunggu haid selesai), saat habis haid baru mandi wajib untuk junub dan haid secara serentak.

Adapun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat kedua (wajib mandi sekali saja yaitu sehabis haid). Kerana mandi wajib ketika haid tidak memberikan faedah apapun.

Wallahu A’lam.

diambil dari http://adekfi.wordpress.com/2011/03/14/pentingnya-mandi-wajib-dan-tata-caranya/

Kamis, 24 Maret 2011




Habib Muhammad Lutfi Bin Yahya


Maulana Habib dilahirkan di Pekalongan pada hari Senin, pagi tanggal 27 Rajab tahun 1367 H. Bertepatan tanggal 10 November, tahun 1947 M. Dilahirkan dari seorang syarifah, yang memiliki nama dan nasab: sayidah al Karimah as Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid Salim bin Sayid al Imam Shalih bin Sayid Muhsin bin Sayid Hasan bin Sasyid Imam ‘Alawi bin Sayid al Imam Muhammad bin al Imam ‘Alawi bin Imam al Kabir Sayid Abdullah bin Imam Salim bin Imam Muhammad bin Sayid Sahal bin Imam Abd Rahman Maula Dawileh bin Imam ‘Ali bin Imam ‘Alawi bin Sayidina Imam al Faqih al Muqadam bin ‘Ali Bâ Alawi. Sementara nasab beliau dari jalur ayah:

* Rasulullah Muhammad SAW
* Sayidatina Fathimah az-Zahra + Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
* Imam Husein ash-Sibth
* Imam Ali Zainal Abiddin
* Imam Muhammad al-Baqir
* Imam Ja’far Shadiq
* Imam Ali al-Uraidhi
* Imam Muhammad an-Naqib
* Imam Isa an-Naqib ar-Rumi
* Imam Ahmad Al-Muhajir
* Imam Ubaidullah
* Imam Alwy Ba’Alawy
* Imam Muhammad
* Imam Alwy
* Imam Ali Khali Qasam
* Imam Muhammad Shahib Marbath
* Imam Ali
* Imam Al-Faqih al-Muqaddam Muhammd Ba’Alawy
* Imam Alwy al-Ghuyyur
* Imam Ali Maula Darrak
* Imam Muhammad Maulad Dawileh
* Imam Alwy an-Nasiq
* Al-Habib Ali
* Al-Habib Alwy
* Al-Habib Hasan
* Al-Imam Yahya Ba’Alawy
* Al-Habib Ahmad
* Al-Habib Syekh
* Al-Habib Muhammad
* Al-Habib Thoha
* Al-Habib Muhammad al-Qodhi
* Al-Habib Thoha
* Al-Habib Hasan
* Al-Habib Thoha
* Al-Habib Umar
* Al-Habib Hasyim
* Al-Habib Ali
* Al-Habib Muhammad Luthfi

Masa Pendidikan

Pendidikan pertama Maulana Habib Luthfi diterima dari ayahanda al Habib al Hafidz ‘Ali al Ghalib. Selanjutnya beliau belajar di Madrasah Salafiah. Guru-guru beliau di Madrasah itu diantaranya:

* Al Alim al ‘Alamah Sayid Ahmad bin ‘Ali bin Al Alamah al Qutb As Sayid ‘Ahmad bin Abdullah bin Thalib al Athas
* Sayid al Habib al ‘Alim Husain bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar bin Sayid Thaha bin Yahya (paman beliau sendiri)
* Sayid al ‘Alim Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alawi bin Abdullah bin Muhammad al ‘Athas Bâ ‘Alawi
* Sayid ‘Al Alim Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.

Beliau belajar di madrasah tersebut selama tiga tahun.

Perjalanan Ilmiah

Selanjutnya pada tahun 1959 M, beliau melanjutkan studinya ke pondok pesantren Benda Kerep, Cirebon. Kemudian Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah itu beliau melaksanakan ibadah haji serta menjiarahi datuknya Rasulullah Saw., disamping menimba ilmu dari ulama dua tanah Haram; Mekah-Madinah. Beliau menerima ilmu syari’ah, thariqah dan tasawuf dari para ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama, guru-guru yang penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi.

Dari Guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah Khas (khusus), dan juga ‘Am (umum) dalam Da’wah dan nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah), thariqah, tashawuf, kitab-kitab hadits, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, kitab-kitab tauhid, tashwuf, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran. Dan beliau juga mendapat ijazah untuk membai’at.

Silsilah Thariqah dan Baiat:

Al Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya mengambil thariqah dan hirqah Muhammadiah dari para tokoh ulama. Dari guru-gurunya beliau mendapat ijazah untuk membaiat dan menjadi mursyid. Diantara guru-gurunya itu adalah:

Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah al ‘Aliah

Dari Al Hafidz al Muhadits al Mufasir al Musnid al Alim al Alamah Ghauts az Zaman Sayidi Syekh Muhammad Ash’ad Abd Malik bin Qutb al Kabir al Imam al Alamah Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid

* Sanad Naqsyabandiayah al Khalidiyah:

Sayidi Syekh ash’ad Abd Malik dari bapaknya Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid dari Quth al Kabir Sayid Salaman Zuhdi dari Qutb al Arif Sulaiman al Quraimi dari Qutb al Arif Sayid Abdullah Afandi dari Qutb al Ghauts al Jami’ al Mujadid Maulana Muhammad Khalid sampai pada Qutb al Ghauts al Jami’ Sayidi Syah Muhammad Baha’udin an Naqsyabandi al Hasni.

* Syadziliyah :

Dari Sayidi Syekh Muhammad Ash’Ad Abd Malik dari al Alim al al Alamah Ahmad an Nahrawi al Maki dari Mufti Mekah-Madinah al Kabir Sayid Shalih al Hanafi ra.

Thariqah al ‘Alawiya al ‘Idrusyiah al ‘Atha’iyah al Hadadiah dan Yahyawiyah:

* Dari al Alim al Alamah Qutb al Kabir al Habib ‘Ali bin Husain al ‘Athas.
* Afrad Zamanihi Akabir Aulia al Alamah al habib Hasan bin Qutb al Ghauts Mufti al kabir al habib al Iamam ‘Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Bâ ‘Alawi.
* Al Ustadz al kabir al Muhadits al Musnid Sayidi al Al Alamah al Habib Abdullah bin Abd Qadir bin Ahmad Bilfaqih Bâ ‘Alawi.
* Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Ali bin Sayid Al Qutb Al Al Alamah Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
* Al Alim al Arif billah al Habib Hasan bin Salim al ‘Athas Singapura.
* Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar bin Salim Bâ ‘Alawi.

Dari guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah dan ijazah untuk baiat, talqin dzikir khas dan ‘Am.

Thariqah Al Qadiriyah an Naqsyabandiyah:

* Dari Al Alim al Alamah tabahur dalam Ilmu syaria’at, thariqah, hakikat dan tashawuf Sayidi al Imam ‘Ali bin Umar bin Idrus bin Zain bin Qutb al Ghauts al Habib ‘Alawi Bâfaqih Bâ ‘Alawi Negara Bali. Sayid Ali bin Umar dari Al Alim al Alamah Auhad Akabir Ulama Sayidi Syekh Ahmad Khalil bin Abd Lathif Bangkalan. ra.

Dari kedua gurunya itu, al Habib Muhammad Luthfi mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah, talqin dzikir dan ijazah untuk bai’at talqin.

Jami’uthuruq (semua thariqat) dengan sanad dan silsilahnya:

Al Imam al Alim al Alamah al Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syekh Muhammad al Maliki bin Imam Sayid Mufti al Haramain ‘Alawi bin Abas al Maliki al Hasni al Husaini Mekah.

Dari beliau, Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah mursyid, hirqah, talqin dzikir, bai’at khas, dan ‘Am, kitab-kitab karangan syekh Maliki, wirid-wirid, hizib-hizib, kitab-kitab hadis dan sanadnya.

Thariqah Tijaniah:

* Al Alim al Alamah Akabir Aulia al Kiram ra’su al Muhibin Ahli bait Sayidi Sa’id bin Armiya Giren Tegal. Kiyai Sa’id menerima dari dua gurunya; pertama Syekh’Ali bin Abu Bakar Bâsalamah. Syekh Ali bin Abu Bakar Bâsalamah menerima dari Sayid ‘Alawi al Maliki. Kedua Syekh Sa’id menerima langsung dari Sayid ‘Alawi al Maliki.

Dari Syekh Sa’id bin Armiya itu Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah, talqin dzikir, dan menjadi mursyid dan ijazah bai’at untuk khas dan ‘am.

Diambil dari padepokan lembahmanah.blogspot.com

Habib Munzir Almussawa

Habib Munzir Almussawa

Al-Allamah wal Fahamah Sayyidi Syarif Al-Habib Munzir bin Fuad bin Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin Yaasin bin Ahmad Al-musawa bin Muhammad Muqallaf bin Ahmad bin Abubakar Assakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Alghayur bin Muhammad Faqihil Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasim bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Almuhajir bin Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqib bin Ali Al Uraidhiy bin Jakfar Asshadiq bin Muhammad Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein Dari Fathimah Azahra Putri Rasul SAW.

Nama beliau Munzir bin Fuad bin Abdurrahman Almusawa, dilahirkan di Cipanas Cianjur Jawa barat, pada hari jum’at 23 februari 1973, bertepatan 19 Muharram 1393H, setelah beliau menyelesaikan sekolah menengah atas, beliau mulai mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma’had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus bhs.Arab di LPBA Assalafy Jakarta timur, lalu memperdalam lagi Ilmu Syari’ah Islamiyah di Ma’had Al Khairat, Bekasi Timur, kemudian beliau meneruskan untuk lebih mendalami Syari’ah ke Ma’had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman pada tahun 1994, selama empat tahun, disana beliau mendalami Ilmu Fiqh, Ilmu tafsir Al Qur;an, Ilmu hadits, Ilmu sejarah, Ilmu tauhid, Ilmu tasawuf, mahabbaturrasul saw, Ilmu dakwah, dan ilmu ilmu syariah lainnya.

Habib Munzir Al-Musawa kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah, dengan mengunjungi rumah rumah, duduk dan bercengkerama dg mereka, memberi mereka jalan keluar dalam segala permasalahan, lalu atas permintaan mereka maka mulailah Habib Munzir membuka majlis, jumlah hadirin sekitar enam orang, beliau terus berdakwah dengan meyebarkan kelembutan Allah swt, yang membuat hati pendengar sejuk, beliau tidak mencampuri urusan politik, dan selalu mengajarkan tujuan utama kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah swt, bukan berarti harus duduk berdzikir sehari penuh tanpa bekerja dll, tapi justru mewarnai semua gerak gerik kita dengan kehidupan yang Nabawiy, kalau dia ahli politik, maka ia ahli politik yang Nabawiy, kalau konglomerat, maka dia konglomerat yang Nabawiy, pejabat yang Nabawiy, pedagang yang Nabawiy, petani yang Nabawiy, betapa indahnya keadaan ummat apabila seluruh lapisan masyarakat adalah terwarnai dengan kenabawian, sehingga antara golongan miskin, golongan kaya, partai politik, pejabat pemerintahan terjalin persatuan dalam kenabawiyan, inilah Dakwah Nabi Muhammad saw yang hakiki, masing masing dg kesibukannya tapi hati mereka bergabung dg satu kemuliaan, inilah tujuan Nabi saw diutus, untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Majelisnya mengalami pasang surut, awal berdakwah ia memakai kendaraan umum turun naik bus, menggunakan jubah dan surban, serta membawa kitab-kitab. Tak jarang beliau mendapat cemoohan dari orang-orang sekitar. Beliau bahkan pernah tidur di emperan toko ketika mencari murid dan berdakwah. Kini majlis taklim yang diasuhnya setiap malam selasa di Masjid Al-Munawar Pancoran Jakarta Selatan, yang dulu hanya dihadiri tiga sampai enam orang, sudah berjumlah sekitar 10.000 hadirin setiap malam selasa, Habib Munzir sudah membuka puluhan majlis taklim di seputar Jakarta dan sekitarnya, beliau juga membuka majelis di rumahnya setiap malam jum’at bertempat di jalan kemiri cidodol kebayoran, juga sudah membuka majlis di seputar pulau jawa, yaitu:

Jawa barat :

Ujungkulon Banten, Cianjur, Bandung, Majalengka, Subang.

Jawa tengah :

Slawi, Tegal, Purwokerto, Wonosobo, Jogjakarta, Solo, Sukoharjo, Jepara, Semarang,

Jawa timur :

Mojokerto, Malang, Sukorejo, Tretes, Pasuruan, Sidoarjo, Probolinggo.

Bali :

Denpasar, Klungkung, Negara, Karangasem.

NTB

Mataram, Ampenan

Luar Negeri :

Singapura, Johor, Kualalumpur.

Buku-buku yang sering menjadi rujukan beliau di majelisnya antara lain: kitab As-syifa (Imam Fadliyat), Samailul Muhammadiyah (Imam Tirmidzi), Mukasyifatul Qulub (Imam Ghazali), Tambili Mukhdarim (Imam Sya’rani), Al-Jami’ Ash-Shahih/Shahih Bukhari (Imam Bukhari), Fathul Bari’ fi Syarah Al-Bukhari (Imam Al-Astqalani), serta kitab karangan Imam Al-Haddad dan kitab serta pelajaran yang didapat dari guru beliau Habib Umar bin Hafidh.

Nama Rasulullah SAW sengaja digunakan untuk nama Majelisnya yaitu “Majelis Rasulullah SAW”, agar apa-apa yang dicita-citakan oleh majelis taklim ini tercapai. Sebab beliau berharap, semua jamaahnya bisa meniru dan mencontoh Rasulullah SAW dan menjadikannya sebagai panutan hidup.

Adapun guru-guru beliau antara lain:

Habib Umar bin Hud Al-Athas (cipayung), Habib Aqil bin Ahmad Alaydarus, Habib Umar bin Abdurahman Assegaf, Habib Hud Bagir Al-Athas, di pesantren Al-Khairat beliau belajar kepada Ustadz Al-Habib Nagib bin Syeikh Abu Bakar, dan di Hadramaut beliau belajar kepada Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim (Rubath Darul Mustafa), juga sering hadir di majelisnya Al-Allamah Al-Arifbillah Al-Habib Salim Asy-Syatiri (Rubath Tarim).

Dan yang paling berpengaruh didalam membentuk kepribadian beliau adalah Guru mulia Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim.

Salah satu sanad Guru beliau adalah:

Al-Habib Munzir bin fuad Al-Musawa berguru kepada Guru Mulia Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Musnid Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Assegaf,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdullah Assyatiri,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (simtuddurar),

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdurrahman Al-Masyhur (shohibulfatawa),

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdullah bin Husen bin Thohir,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Umar bin Seggaf Assegaf,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Hamid bin Umar Ba’alawiy,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Habib Al-Hafizh Ahmad bin Zein Al-Habsyi,

Dan beliau berguru kepada Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad (shohiburratib),

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Husein bin Abubakar bin Salim,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Al-Allamah Al-Habib Abubakar bin Salim (fakhrulwujud),

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Syahabuddin,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdurrahman bin Ali (Ainulmukasyifiin),

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Ali bin Abubakar (assakran),

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abubakar bin Abdurrahman Assegaf,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdurrahman Assegaf,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Muhammad Mauladdawilah,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Ali bin Alwi Al-ghayur,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Imam faqihilmuqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawiy,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbath,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Shahib Marbath bin Ali,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Khali’ Qasam bin Alwi,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Alwi bin Muhammad,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad bin Alwi,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Alwi bin Ubaidillah,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa Arrumiy,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqib,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhiy,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Al-Uraidhiy bin Ja’far Asshadiq,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ja’far Asshadiq bin Muhammad Al-Baqir,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Zainal Abidin Assajjad,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Husein ra,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Ali bin Abi Thalib ra,

Dan beliau berguru kepada Semulia-mulia Guru, Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW, maka sebaik-baik bimbingan guru adalah bimbingan Rasulullah SAW.

diambil dari http://assajjad.wordpress.com/2009/03/05/biografi-habib-munzir-al-musawa/

Wahabi bilang dzikir berjamaah adalah haram

tapi

sesungguhnya dzikir berjamaah adalah sunnah


Kelompok Salafi/Wahabi menganggap Dzikir berjama’ah adalah Bid’ah atau Sesat. Namun dari dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits di bawah, pernyataan tersebut tidak berdasar.

Sebagai contoh dalam surat Al Fatihah kita mengucapkan:

Iyyaka NA’budu (Kepada Mu KAMI menyembah/beribadah)

Wa Iyyaka NAsta’iin (Kepada Mu KAMI meminta/berdo’a)

Ayat di atas menunjukkan kata NA (KAMI) yang artinya JAMAK/BANYAK. Bukan sendiri-sendiri. Pada akhir Surat Al Fatihah, seluruh Makmum dari shalat berjama’ah menyatakan “AAMIIIN”.

Ayat-ayat Al Fatihah itu saja sudah jelas menunjukkan bahwa beribadah (termasuk Dzikir dan Do’a) secara berjama’ah itu tidak sesat. Dan pernah dicontohkan Nabi.

Surat Al Fatihah sendiri pada dasarnya adalah Do’a. Contohnya “Ihdinash Shiroothol Mustaqiim” (Tunjuki Kami ke Jalan yang Benar) yang kemudian diaminkan oleh para Makmum. Dengan mengucap Allah sebagai Ar Rahman dan Ar Rahim, pada dasarnya Imam itu berdzikir menyebut nama Allah. Bukankah itu contoh yang jelas?

Banyak ibadah yang dicontohkan Nabi dan para sahabat secara berjama’ah seperti Shalat Wajib Berjama’ah yang pahalanya malah 27 x lipat daripada shalat sendiri. Selain itu juga ada Shalat Tarawih berjama’ah, Shalat ‘Ied, dsb. Bahkan shalat Jum’at tidak sah jika tidak dilakukan secara berjama’ah.

Berbagai do’a dalam Al Qur’an seperti “Robbana Aatina Fid dunya Hasanah..” (Ya Tuhan KAMI berilah KAMI di dunia Kebaikan) menyatakan bahwa do’a-doa tersebut sebaiknya dilaksanakan secara berjama’ah [Al Baqarah 201].

“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” [Al Baqarah 201]

Lihat ayat Al Qur’an di atas bagaimana orang berdoa secara berjama’ah. Kata siapa beribadah berjama’ah seperti Dzikir itu Bid’ah atau sesat? Hendaknya kita berpegang pada wahyu Allah.

Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, wa lillahil hamdu, Allahu Akbar, wa Ajalla Allahu Akbar ‘alaa maa hadaNAA.
“Artinya : Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada KITA”. [Diriwayatkan oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih]

Kalimat Takbir Ibnu Abbas di atas jelas menunjukkan Takbir tersebut dilakukan berjama’ah. Sebab kalau sendiri tentu kata terakhir jadi hadaNII (Petunjuk yang diberikan kepada saya).

Ada lagi yang berpendapat Dzikir/Takbir dengan suara keras berjama’ah boleh. Tapi tidak boleh satu suara/komando. Kalau satu suara: Bid’ah! Padahal kalau takbir sendiri-sendiri beramai-ramai dengan suara keras, niscaya yang terdengar bukan takbir lagi. Tapi cuma keributan/kegaduhan saja. Bayangkan yang satu baru Allahu Akbar, pada saat yang sama yang lain berkata “Walillahil Hamd”, yang lain lagi beda lagi. Suara yang terdengar akan kacau dan tak beraturan.

Silahkan lihat dalil-dalil lengkapnya dari Al Qur’an dan Hadits di bawah. Jadi keliru besar menganggap Dzikir Berjama’ah sebagai Bid’ah atau Sesat.

DZIKIR BERJAMA`AH BUKANLAH BID`AH !!!

Oleh Imron Rosyadi

DALIL-DALILNYA DZIKIR, TERMASUK DALIL DZIKIR SECARA JAHAR

Dalil-dalil dzikir termasuk dalil dzikir secara jahar (agak keras)

Firman Allah swt. dalam surat Al-Ahzab 41-42 agar kita banyak berdzikir sebagai berikut :

Tak semua bid'ah itu sesat

Siapa Bilang Semua Bid'ah Itu sesat?


Dari sebuah hadist dikatakan:

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)

Adapun perkataan Imam As-Syafi’i maka sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan sanad beliau hingga Harmalah bin Yahya-,

ثَنَا حَرْمَلَة بْنُ يَحْيَى قَالَ : سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِي يَقُوْلُ : البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ، وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ

Dari Harmalah bin Yahya berkata, “Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata, “Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela, maka bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid’ah yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah yang tercela”, dan Imam Asy-Syafi’i berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” (Hilyatul Auliya’ 9/113)

Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam syariat. Di antara bid’ah terpuji itu adalah:

a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.

Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” mengatakan:

“Pada mulanya, bid’ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar’i, bid’ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid’ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid’ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid’ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bidطah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid’ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam”.

b. Pembukuan Al-Qur’an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.

Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).

Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai­mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.

c. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-­nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra’, yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.

Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang yang berbuat bid’ah dan sesat? Apakah para sahabat yang menyetu­juinya juga dianggap pelaku bid’ah dan sesat?

Di antara contoh bid’ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur’an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama. Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal mubah.

Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid’ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-­orang yang berbuat bid’ah dan sesat.


Habib Hasan Ja'far Assegaf


Habib Hasan Ja'far Assegaf


Dengan karunia Allah SWT inilah Majlis Nurul Musthofa yang beliau bina dengan cara mensyiarkan Sholawat dan Salam kepada Nabi Muhammad SAW serta mengenalkan pribadi Rasululloh SAW sebagai suri tauladan manusia sehingga dapat merebut hati manusia sebanyak 50.000 orang untuk bersholawat kepada Rasululloh SAW setiap minggunya.

Majlis yang beliau bina turut pula di do’akan oleh para alim ulama terkemuka pada zaman sekarang ini dan sempat duduk di Majlisnya di antaranya adalah :

- AL Habib Muhammad Anis bin Alwi Al Habsyi

- Al Habib Abdurrahman bin Alwi Assegaf

- Al Habib Abdurrahman bin Muhammad Al Habsyi

- Al Habib Abdurrahman bin Muhammad Bil Faqih

- Al Habib Salim bin Abdulloh As-Syathiri

Serta masih banyak lagi yang lainnya yang tersimpan kedatangan beliau di file Majlis Nurul Musthofa.

Di dalam Majlis pun di bacakan Kitab Annashohidiniyyah karangan Al Habib Abdulloh bin Alwi Al Haddad dan berbagai kitab lainnya yang di karang oleh para Salaffuna Sholihin.

Semoga dengan sedikit biografi yang ringkas ini Allah selalu menjaga, melindungi syiar Islam di seluruh dunia dan menjadikan kita sebagai hamba-hamba Allah yang tidak putus dengan Rahmat-Nya.

Terima kasih kami kepada umat Islam yang telah membantu Majlis Nurul Musthofa

bib Hasan adalah anak sulung Habib Ja’far Assegaf yang lahir di Bogor pada 26 Februari 1977. Ia mendapat pendidikan awal dari ayahnya, kemudian meneruskan ke Pesantren Darul Hadits dan Darut Tauhid di Malang selama tiga tahun. Setelah itu ia juga sempat mengambil kuliah di IAIN Sunan Ampel, Malang.

Tahun 1998, Habib Hasan membuka sekaligus memimpin Majelis Ta’lim Al-Irfan. Pengajian digelar di kediamannya, di Bogor, tepat di belakang rumah Habib Kramat Empang, Bogor.

Pada suatu malam, setelah shalat Istikharah dan sebelumnya melakukan ziarah ke makam kakeknya, Habib Abdullah bin Muhsin Alattas, di Bogor, Habib Hasan bermimpi. “Ana bermimpi bertemu Habib Kuncung (Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad). Dalam mimpi itu Habib Kuncung berkata agar ana berdakwah di Jakarta,” tutur Habib Hasan.

Menyadari bahwa saran itu datang dari habib kharismatis yang sudah tiada, Habib Hasan pun memulai dakwahnya di Jakarta.

Cahaya Manusia Pilihan

Awalnya dia berkeliling dari rumah ke rumah murid-muridnya.

Enam bulan kemudian, seorang jama’ah datang kepadanya dengan membawa seorang pria berumur separuh baya. Pria itu minta agar Habib Hasan bersedia mengobati kakinya.

“Ketika itu ana bingung, karena ana belum pernah menangani hal demikian,” kenangnya. Namun, karena tidak ingin mengecewakan tamunya, Habib Hasan kemudian mengambil sebotol air putih dan membacakan Ratib Alattas. Botol itu kemudian diserahkan kepada si sakit dengan pesan agar diminum setibanya di rumah.

“Dua hari kemudian orang itu kembali kemari dalam keadaan sembuh,” ujar Habib Hasan.

Entah bagaimana, rupanya peristiwa itu menyebar sehingga nama Habib Hasan dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural. Namun yang jelas, sejak itu, jama’ahnya pun bertambah secara signifikan, menjadi seratus orang.

Awal 1999, Habib Umar bin Hud Cipayung wafat. Habib Umar adalah teman kakek Habib Hasan. Untuk menghormati teman kakeknya itu, Habib Hasan mencium kening almarhum dan berdoa, “Ya Allah, jadikan aku seperti almarhum dalam hal ilmu dan amal.”

Satu bulan kemudian, jama’ah bertambah lagi, menjadi empat ratus orang.

Karena pertambahan jama’ah yang cukup besar itu, pada akhir tahun 1999, atas saran H. Jamalih bin H. Piun, sesepuh setempat, ia memindahkan tempat ta’lim ke Masjid Al-Ahyar di Kampung Kandang.
Ketika saran itu dilaksanakan, yang hadir ada sekitar lima ratus orang.

Selanjutnya, jalan lebar seperti terbuka dengan sendirinya. Masjid-masjid sekitar Cilandak membuka pintunya lebar-lebar untuk menampung acara majelis ta’lim Al-Irfan.

Tahun 2000, jama’ahnya bertambah lagi menjadi sekitar delapan ratus orang, yang berdatangan dari seluruh penjuru Jakarta.

Melihat hal itu, Habib Umar bin Hafidz dari Tarim, Hadhramaut, setelah meminta pertimbangan kepada Al-Alamah Habib Anis Al-Habsyi, mengubah nama majelis ta’lim itu menjadi “Nurul Muthofa”, yang maknanya “Cahaya Manusia Pilihan”.

Dua tahun kemudian, 2002, syiar majelis ta’lim Nurul Musthofa kian meluas. Mulai dari Warung Buncit, Mampang Prapatan, Kuningan, Kalibata, hingga Kreo. Jumlah jama’ahnya pun bertambah, menjadi sekitar dua ribu orang.

Tahun 2003, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikunjungi ulama-ulama besar, seperti Habib Abdul Qadir Al-Masyhur dari Makkah, Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dan putranya, Habib Muhammad, dari Madinah, juga Habib Salim Asy-Syatiri dari Tarim, Hadhramaut.

Fitnah Berdatangan

Tahun 2003 adalah tahun ujian bagi Habib Hasan. Selain ayahnya, Habib Ja’far, wafat pada bulan haji, fitnah pun berdatangan kepadanya. Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikatakan sebagai majelis bid’ah, majelis syirik. Malah suatu hari, ketika ia bangun tidur, ranjangnya penuh dengan kalajengking.

Maka Habib Hasan pun segera bangkit dari tidur dan berdoa.

Dalam sekejap kalajengking-kalajengking itu mati semua.

Pada kali yang lain ia menemukan seekor ular di kamarnya.

Bahkan pernah selama satu bulan kakinya tidak bisa digerakkan. Selama itu kegiatan ta’lim diserahkan kepada adiknya, Habib Abdullah.

Kakinya sembuh berkat bacaan rutin Subhanallah wa bihamdihi, Subhanallahil ‘adhim, Astaghfirullah.

Sempat terlintas dalam benaknya akan meninggalkan kegiatan majelis ta’limnya itu. Tapi dibatalkan, karena tidak disetujui Al-Alamah Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri.

Setelah mendapat dukungan Habib Abdurrahman, hatinya semakin mantap. Dan untuk menghadapi fitnah-fitnah itu, Habib Hasan melakukan ziarah ke makam para shalihin di berbagai tempat, seperti di Luar Batang, Kwitang, Bogor, Tegal, Pekalongan, Solo, Gresik, Surabaya, Bangil, Malang, dan lain-lain.

Keinginan IbuSuatu hari, Habib Hasan mengemukakan kepada ibunya bahwa ia ingin menikah.

Sang ibu merasa sangat bersyukur. Maklum, Habib Hasan adalah anak sulung. Lantas ibunya menyodorkan 40 foto syarifah.

Habib Hasan kemudian mengambil satu dan menyimpan di kantung bajunya tanpa melihat wajah di gambar itu.

Esok harinya ia pergi ke Tegal, dan memakai baju yang sama. Jadi ia yakin bahwa foto syarifah pemberian ibunya itu masih ada di kantung baju.

Namun, ketika sampai di Tegal, foto itu raib.

Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Solo.

Ketika sampai di rumah Al-‘Alamah Habib Anis Al-Habsyi di Solo, di kantungnya terasa ada sesuatu yang mengganjal. Setelah diraba, ternyata ganjalan itu adalah sebuah foto, yaitu foto syarifah pemberian ibunya.

Saat bertemu Habib Anis, Habib Hasan minta pendapatnya tentang calon istrinya yang wajahnya ada di dalam foto itu. Padahal sampai detik itu ia belum melihat wajah di foto itu.

Dan ternyata Habib Anis menyatakan persetujuannya terhadap calon tersebut.

Sekembalinya ke Bogor, kepada ibunya Habib Hasan menceritakan pertemuannya dengan Habib Anis.
Maka keluarganya pun segera mempersiapkan acara untuk melamar gadis itu. Pada saat itulah Habib Hasan baru berani melihat wajah di foto yang telah dibawanya ke mana-mana itu, yang ternyata adalah Syarifah Muznah binti Ahmad Al-Haddad, keponakan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Haddad, Condet.
Lamaran tidak bertepuk sebelah tangan.

Sebulan kemudian, pernikahan dua sejoli itu dilangsungkan di rumah mempelai perempuan.

Kini pasangan itu telah dikaruniai tiga orang anak: Rogayah, 8 tahun, Attos Abdullah, 7 tahun, dan Ali, 6 tahun.

Setelah Habib Hasan berkeluarga, semuanya jadi tambah lancar. Jama’ahnya bertambah hingga enam ribu orang, tersebar di Jakarta Selatan dan Timur. Bahkan tahun 2005 jumlah jama’ah mencapai 15 ribu orang.

Tahun berikutnya, Habib Hasan pindah ke Kampung Manggis di depan kantor Darul Aitam di Jalan Kahfi I, Jakarta Selatan. Di situ dia membangun rumah dan mushalla di atas tanah hibah dari H. Abdul Gofar, Hj. Nur Utami, dan H. Masturoh.

Pada tahun itu juga Habib Hasan mengukuhkan Yayasan Nurul Musthofa, yang diketuai oleh adiknya, Habib Abdullah bin Ja’far Assegaf, dan dia sendiri, dengan izin resmi dari Departemen Agama.

Tahun 2006, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berkembang semakin pesat.

Pada tahun ini pula, Habib Hasan mulai mendiami rumahnya sendiri yang juga menjadi kantor sekretariat Yayasan Nurul Musthofa.

Ulam Tiba

Pada tahun 2007, Yayasan Nurul Musthofa mulai mendirikan gedung khusus untuk kegiatan ta’lim di atas tanah hibah, yang terletak persis di belakang kediaman Habib Hasan. Padahal saat itu kontur tanah tersebut miring sehingga sulit untuk segera bisa merealisasikan pembangunan tersebut.

Tanah itu perlu diurug. Namun untuk mengurug dibutuhkan tanah yang tidak sedikit. Apalagi kiri-kanan lahan tanah tersebut telah dibatasi tembok-tembok tetangga.

Ketika menyadari hal itu, Rahman, tangan kanan Habib Hasan, menyatakan pesimistis.

Namun Habib Hasan dengan tenang menjawab, “Sabar saja, nanti juga akan ada tanah untuk mengurug.”

Benar juga, beberapa hari kemudian, Rahman menerima kedatangan tetangga sebelah yang merencanakan ingin membuat kolam renang, sehingga akan membuang tanah yang cukup banyak.

“Pucuk dicita, ulam tiba,” kata Rahman.

Maka, tanpa kesulitan, tanah dari tetangga sebelah dipindahkan ke rumah Habib Hasan..

Sumber Sebuah Catatan Facebook dan Majalah Al Kisah
Facebook Resmi Habib Hasan bin Ja’far Assegaf

1. http://www.facebook.com/istana.assegaf
2. http://www.facebook.com/profile.php?id=100001232371542





Imam Syafi'i

IMAM SYAFI'I

Siapa yang tidak tahu Imam Syafi'i, beliau adalah salah satu tokoh besar dalam islam

Namanya adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin As-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib. Nama panggilannya adalah Abu Abdillah.

Beliau dilahirkan di Gaza tahun 150 Hijriyah pada tahun dimana Imam Abu Hanifah An Nu’man meninggal. Ayahnya meninggal dalam usia muda, sehingga Muhammad bin Idris As-Syafi’I menjadi yatim dalam asuhan ibunya. Pada usia 7 tahun ia sudah hafal Al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab Al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.

Awal Menuntut Ilmunya

Imam As-Syafi’I berkata, “Aku adalah seorang yatim dibawah asuhan ibuku. Ibuku tidak mempunyai uang untuk membayar seorang guru untuk mengajariku. Namun seorang guru telah mengizinkanku belajar dengannya ketika ia mengajar. Tatkala aku selesai meng-khatam-kan al-Qur’an, aku lalu masuk masjid untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan para ulama. Dalam pengajian itu, aku menghafalkan hadits dan permasalahan-permasalahan agama. Akibat kemiskinanku, ketika aku melihat tulang yang menyerupai papan, maka tulang itu aku ambil untuk menulis hadits dan beberapa permasalahan agama.”

Imam An-Nawawi membahas tentang Imam Syafi’I yang secara ringkasnya adalah sebagai berikut: “Imam Syafi’I memperdalam fiqh dari Muslim bin Khalid Az-Zanji dan imam-imam Makkah yang lain. Kemudian dia pindah ke Madinah dengan tujuan berguru kepada Abu Abdillah Malik bin Anas. Ketika di Madinah, Imam Malik bin Anas memperlakukan As-Syafi’I dengan mulia karena nasab, ilmu, analisis, akal dan budi pekertinya. Imam As-Syafi’I kemudian membaca dengan cara menghafal kitab Al-Muwaththa’ (karya Imam Malik) kepada Imam Malik. Mendengar bacaanya terhadap Al Muwaththa’ ini, Imam Malik merasa kagum sehingga dia meminta agar Imam As-Syafi’I untuk membacanya kembali. Setelah berapa lama bersama Imam Malik, akhirnya dia berkata kepada As-Syafi’I, “Bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya kamu dimasa mendatang akan memiliki sesuatu yang agung.” Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Imam malik berkata kepada Imam As-Syafi’I, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyinari hatimu dengan nurNya, maka jangan padamkan nurNya dengan berbuat maksiat.” Setelah berguru dengan Imam Malik, Imam As-Syafi’I lalu pindah ke Yaman. Dari Yaman, dia lalu pindah ke Irak untuk menyibukkan dirinya dalam ilmu agama. Selama tinggal di Irak ini, dia menghasilkan kitab yang bernama Kitab Al-Hujjah yang kemudian dikenal Qaul Qadim Imam As-Syafi’i. Pada tahun 199 Hijriyah, dia meninggalkan Irak menuju Mesir. Semua karyanya yang dikenal dengan Qaul Jadid ditulis di Mesir. Ketika di Mesir inilah nama Imam As-Syafi’I banyak disebut-sebut orang sehingga dirinya menjadi tujuan banyak orang untuk menimba ilmu, baik yang berasal dari Irak, Syam, maupun Yaman.”

Akhlaknya

Ar Rabi’ bin Sulaiman mengatakan bahwa Imam Syafi’I membagi malam menjadi tiga bagian: sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga terakhir untuk tidur.

Imam Syafi’I merupakan seseorang yang sangat dermawan terhadap setiap orang. Al-Humaidi mengatakan bahwa Imam Syafi’I dari daerah Sin’an ke Makkah dengan membawa sepuluh ribu dinar ditangannya. Dia lalu mendirikan tenda diluar kota Makkah, sehingga orang-orang berdatangan meminta uang tersebut. Sebelum gelap malam tiba, maka uang itu telah habis tanpa tersisa sedikit pun.

Ar-Rabi’ memberitahukan bahwa ada seseorang yang telah mengambil keledai milik Imam Syafi’i. lalu dia berkata, “Wahai Rabi’, berikanlah kepada pencuri itu empat dinar dan suruh dia minta maaf padaku.”

Guru dan Murid-muridnya

Guru-guru Imam Syafi’I diantaranya: Muslim bin Khalid Az Zanji, Imam Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah, Hatim bin Isma’il.

Murid-muridnya: Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, Imam Ahmad bin Hambal, Ar Rabi’ bin Sulaiman Al Jizi.

Karya-karyanya

Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I mengatakan bahwa Imam Syafi’I telah menghasilkan sekitar 140-an kitab, baik dalam Ushul maupun Furu’.

Karya-karyanya antara lain: kitab Al Umm, As Sunan Al Ma’tsurah, Ar Risalah, Al Fiqh Al Akbar.

Kecerdasannya

Dihikayatkan bahwa ada sebagian ulama terkemuka di Iraq yang merasa dengki dan iri hati terhadap Imam asy-Syafi’i dan berupaya untuk menjatuhkannya. Hal ini dikarenakan keunggulan Imam asy-Syafi’i atas mereka di dalam ilmu dan hikmah, di samping karena beliau mendapatkan tempat yang khusus di hati para penuntut ilmu sehingga mereka begitu antusias menghadiri majlisnya saja dan merasa begitu puas dengan pendapat dan kapasitas keilmuannya. Karena itu, para pendengki tersebut bersepakat untuk menjatuhkan Imam asy-Syafi’i. Caranya, mereka akan mengajukan beberapa pertanyaan yang rumit dalam bentuk teka-teki untuk menguji kecerdasannya dan seberapa dalam ilmunya di hadapan sang khalifah yang baik, Harun ar-Rasyid. Khalifah memang sangat menyukai Imam asy-Syafi’i dan banyak memujinya. Setelah menyiapkan beberapa pertanyaan tersebut, para pendengki tersebut memberitahu sang khalifah perihal keinginan mereka untuk menguji Imam asy-Syafi’i. Sang khalifah pun hadir dan mendengar langsung lontaran beberapa pertanyaan tersebut yang dijawab oleh Imam asy-Syafi’i dengan begitu cerdas dan amat fasih.